Rabu, 19 Januari 2011

Ora Et Labora

Yang pasti ini bukan bahasa Jawa. Kalau nanya, mas atao mbak, ngerti ora et labora? Dijawab, ora ngerti. (tidak mengerti) Lha wong ora et labora itu diambil dari bahasa Latin, yang biasanya kita kenal sebagai berdoa dan bekerja.

Ini menandakan bahwa usaha tanpa doa akan sia-sia? Gimana dengan orang yang bekerja tanpa berdoa, toh mereka juga bisa berhasil? Berbicara dalam konteks keKristenan tentu bekerja disini lebih tepat disebut sebagai pelayanan. Meski kita bekerja dalam bidang sekuler, artinya kita tetap melayani – secara hurufiah maupun non hurufiah.

Melayani secara hurufiah melayani sesama kita manusia. Sebagai karyawan, melayani bos kita. Sebagai bos, melayani pelanggan kita. Sebagai manusia, kita adalah status hamba yang melayani Tuan kita, Tuhan Yesus Kristus. Maka hidup kita adalah melayani.

Hal yang menarik melayani normalnya bukan melayani diri sendiri tetapi untuk orang lain. Dalam keluarga kita juga melayani suami istri, anak, orangtua. Maka seharusnyalah kita berdoa bukan untuk pekerjaan kita berhasil untuk diri sendiri, tetapi kiranya kita bisa melayani dengan baik. Kita berdoa supaya kita diberi kekuatan, kebijaksanaan supaya bisa melayani orang lain. Kita berdoa supaya pelayanan (pekerjaan) kita untuk menyatakan kehendak Tuhan, untuk memuliakan nama Tuhan.

Jadi konsepnya adalah Christ Centered bukan man centered lagi. Kita bisa tahu jika seseorang bekerja hanya untuk kepentingan pribadi atau untuk kemuliaan nama Tuhan. Demikian juga dalam pelayanan gerejawi, akan terlihat bagaimana seseorang melayani hanya untuk kekuasaan, nama terhormat, kebanggaan dan diri sendiri.

Dalam berdoa juga akan terdengar jika man centerted maka doanya dari mulai sampai amin hanya untuk mendapat berkat jasmani rohani, terhindar dari masalah, menang dari perkara atau sembuh dari penyakit.

Ora et labora, dicanangkan oleh Benedict (Santo Benediktus) pada abad ke-6, bagi para pastur supaya dalam hidupnya harus seimbang antara bekerja dan berdoa. Seperti Yakobus yang tuliskan bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati. Maka kira-kira kayak begitu. Kita kagak bisa bekerja terus dan berhasil, tetapi tidak menyadari bahwa ada campur tangan Tuhan dalam pekerjaan kita. Sebaliknya kita enggak bisa diam berdoa terus tapi enggak berusaha.

Richard De Haan pernah menulis ilustrasi yang bagus seperti ini: “Kita lupa bahwa Allah menginginkan kita menjadi bagian dari jawaban atas doa-doa kita. Kita mengharap Dia melakukan segalanya, dan kita tinggal duduk tanpa melakukan apa-apa. Kita meminta Dia memberkati pelayanan gereja kita, tetapi kita selalu menghindar bila diminta untuk melayani. Kita selalu memohon agar orang-orang yang kita cintai diselamatkan, tetapi kita tidak pernah bersaksi kepada mereka.

Kita mendoakan orang-orang yang mengalami kesulitan keuangan yang berat, tetapi kita tidak mau memberikan apa yang kita miliki untuk membantu mereka. Kita meminta Tuhan menghibur serta menyemangati orang-orang yang mengurung diri dan kesepian, tetapi kita tidak pernah pergi mengunjungi mereka.


Gimana dengan kehidupan doa sehari-hari kita? Berdoa kalau ada waktu, kalau pas inget, kalau lagi ada masalah. Doa hanya jadi corong tagihan kepada Tuhan. Maka banyak doa yang isinya komplain mulu, engga ada semburan pujian syukur, engga ada saluran kekuatan. Doa hanya sebagai ban serep.

Seharusnya orang Kristen mempunyai doa intimasi yang kusyuk dengan Allah. Lah wong Tuhan Yesus sendiri aza berdoa, “Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah.” Luk 6:12. Kitanya malah enak duduk-duduk atau tiduran menikmati hidup kita.

Tidak ada komentar: